Sunday, January 18, 2009

Perjalanan Spiritual Yang Takluk Dalam Kedetilan


Movie : Darjeeling Limited
Cast : Owen Wilson, Jason Schwartzman, Adrien Brody

Director : Wes Anderson

Review : Wes Anderson, seperti kata teman saya, adalah salah satu sutradara paling banyak gaya saat ini. Saya setuju dengan hal tersebut, dan hal ini menjadikan Wes Anderson memiliki penggemar fanatik yang merasa cocok dengan gaya yang ditampilkan dalam beberapa filmnya. Dan kali ini, alasan saya merekomendasikan film ini untuk teman-teman, semata-mata hanya karena disutradari oleh Wes Anderson saja. Hehe .
Darjeeling Limited, dari banyak aspek sangatlah menarik untuk ditonton. Mulai dari pemilihan tempat, yaitu India. Pada umumnya, India mungkin bukanlah objek yang penuh daya eksotis dan magisnya spiritual seperti yang ingin ditonjolkan Wes Anderson dalam film ini. Apalagi, belakangan India malah menjadi salah satu negara yang mengalami peningkatan ekonomi yang pesat di kawasan Asia bersama dengan Cina.
Tapi, seperti tidak perduli dengan ragam persepsi tentang India tersebut, Wes Anderson dengan berani memilih India yang dieksplornya hingga memiliki daya eksotis dan magis spiritual yang kuat. Kemudian, pemilihan aktor dalam beberapa filmnya, Wes Anderson nampak akrab dengan beberapa aktor seperti Owen Wilson dan Jason Schwartzman yang juga pernah terlibat dalam beberapa film Wes Anderson sebelumnya.
Nah, kita mulai melihat filmnya. Saya terkejut begitu tahu bahwa adegan awal film yang seharusnya sudah mewakili apa mau dari film, ternyata dibuat dengan sangat banyak gaya. Bisa-bisanya, untuk adegan pembuka saja, dia menggunakan satu aktor (Bill Murray) yang memang hanya ada saat adegan pembuka itu saja. Sehingga menjadikan penonton masih menerka-nerka apa sih mau dari film ini?
Kemudian film berlanjut dengan eksplanasi dari Owen Wilson yang memaparkan apa saja yang sedang terjadi dan akan terjadi di film ini. Begitulah, tiga orang bersaudara yang sudah sangat lama tidak saling ngomong ini, bertemu dan mengadakan perjalanan spiritual untuk mencari identitas masing-masing. Kemudian hal-hal aneh pun muncul.
Si sutradara banyak gaya ini sangat saya sarankan untuk menonton film-filmnya yang lain. Dengan begitu, teman-teman akan merasakan di bagian mana gaya yang menjadi khasnya itu muncul. Beberapa yang paling terasa adalah gambar yang dishoot selalu memiliki ukuran-ukuran tertentu dengan gerakan yang kadang diperlambat sehingga seperti ingin menampilkan sisi estetis film tersebut. Dan, kalau teman-teman sudah pernah menonton film-filmnya yang lain, maka akan terasa bahwa pakaian aktornya yang aneh-aneh. Ada saja detil yang ingin ditampilkan oleh sutradara banyak gaya ini. Pada Darjeeling misalnya, muka si Owen Wilson yang harus diperban, jas mereka yang sangat ganjil berada di daerah pedalaman, dan banyak lagi hal-hal detil yang apabila kelak teman-teman tahu, hanya akan menimbulkan pernyataan, betapa tidak pentingya hal-hal detil yang sangat diperhatikan si sutradara banyak gaya ini.
Pada akhirnya, si sutradara banyak gaya dengan tingkahnya yang sangat merepotkan itu kembali ke selera masing-masing. Saya tidak ingin memaksakan selera film teman-teman. Kita berhak memilih, tapi percayalah, khusus untuk teman-teman apalagi yang ogah dengan film yang memiliki tema-tema berat. Maka saya rekomendasikan si Wes Anderson ini sebagai sosok yang memang sangat menarik untuk didekati.
.Hmm.

Dongeng Dihalalkan Untuk Berimajinasi


Movie : Be Kind Rewind
Cast : Jack Black, Mos Def
Director : Michel Gondry

Review : Saya sempat berpikir bahwa film ini adalah tipikal dengan kebanyakan film komedi Hollywood lain, yang alurnya itu, biasanya : mengalami keanehan di awal - mengeksplor keanehan tersebut - polemik/masalah timbul - dan akhir bahagia.
Dan, ternyata film ini juga memiliki ciri yang saya sebutkan barusan. Nah, lantas mengapa saya merekomendasikan film ini? Pertama, tentu saja karena sutradaranya Michel Gondry, sosok yang berhasil membuat banyak kalangan terpana dengan atraksi menawan dalam filmnya sebelumnya Eternal Sunshine Of The Spotless Mind, yang penuh dengan kreasi visual dan cerita yang liar. Kedua, karena film ini memberikan sudut pandang lain tentang, atau katakanlah jenis yang berbeda tentang kisah percintaan yang menjadi tema kebanyakan film Gondry yang lain seperti Human Nature dan The Science Of Sleep. Karena kisah cinta disini adalah kisah tentang seorang manusia dan sebuah medium, yang kemudian meluas ke wilayah rasa saling memiliki, berpartisipasi dan persahabatan yang ditampilkan dengan malu-malu.
Film ini secara garis besar bercerita tentang dua sahabat Jerry (Jack Black) dan Mike (Mos Def) yang "tertimpa masalah", harus " menyelesaikan masalah tersebut" dengan konklusi yang bisa menyenangkan dan membahagiakan semua pihak di akhir cerita tentunya. Nah, sengaja saya kutip "tertimpa masalah" dan "menyelesaikan masalah tersebut" karena kekuatan film terletak pada sesi tersebut. Misalnya pada sesi "tertimpa masalah", ada adegan dimana Jerry secara tiba-tiba mengalami kecelakaan tersetrum aliran listrik bertegangan tinggi dan menyebabkan tubuhnya memiliki daya magnetis yang menyebabkan semua film sewa yang ada di tempat mereka bekerja rusak. Saya pikir akan ada kejadian-kejadian lain yang berhubungan dengan kekuatan baru Jerry yang memiliki tubuh berdaya magnetis, ternyata saya terkecoh. Hal tersebut ternyata hanya dijadikan lompatan untuk sampai pada sesi "menyelesaikan masalah" masalah yang menjadi inti dari film ini. Bagaimana mereka harus merekam ulang semua film yang ternyata banyak digemari, mulai dari Ghostbuster, Rush Hour, dan banyak lagi. Hingga kemudian terjadi suatu masalah dan diakhiri dengan happy ending. Film ini sangat disarankan bagi teman-teman yang punya ketertarikan dengan apa yang disebut kreativitas.
.Hmm.

Pintar, Bukan Berarti Sempurna


Movie : Smart People
Cast : Dennis Quaid, Sarah Jessica Parker, Ellen Page, Thomas Haden Church
Director : Noam Murro
Review : Kali ini saya ingin sedikit kompromi dalam merekomendasikan film yang akan saya jual kepada teman-teman. Anggaplah ini seperti basa-basi.
Maka, saya pilihlah Smart People ini sebagai salah satu film yang bisa mewakili basa-basi saya itu. Hehe .
Mengapa Smart People? Pertama, mungkin karena film ini merupakan salah satu film dari beberapa film yang ditayangkan dalam Festival Sundance (Festival film yang banyak menyorot film-film kelas dua yang dahsyat, seperti Little Miss Sunshine dan Juno). Kedua, karena sutradara yang sama dalam film sebelumnya Sideways (drama komedi yang benar-benar menarik). Dan yang terakhir, walaupun saya tidak suka, tapi hal ini harus saya manfaatkan. Yah, apalagi kalau bukan karena penampilan aktris seperti Sarah Jessica Parker (Sex and The City) dan Ellen Page (Juno) yang menurut saya bisa menjadi modal yang menjual dan menarik perhatian.
Sebenarnya saya sedikit kecewa saat menonton film ini. Satu hal yang membuat saya tertarik dengan film sebelumnya yaitu Sideways, karena dalam film tersebut, saya tidak hanya menonton drama dan komedi tanggung yang terkadang membosankan itu. Sideways terasa kuat, karena memadukan unsur cerita pendamping yang cukup intens mengenai anggur yang sangat menambah wawasan itu.
Nah, di Smart People ini, hal tersebut tidak saya dapatkan, cerita hanya memfokuskan diri bercerita tentang kehidupan seorang Profesor sekaligus dosen di sebuah perguruan tinggi yang sudah mencapai tahap usia boring. Dengan kondisi dimana anak-anaknya sudah dewasa, dan dirinya kesepian karena tidak ada seorang pendamping (istri). Maka, kita akan disuguhi dengan cerita berupa masalah-masalah yang mungkin bisa saja terjadi pada kita di usia seperti itu. Mungkin karena tokoh dalam film yang terlalu tua, saya jadi tidak bisa memahami masalah yang disuguhkan sepanjang film. Hanya ada beberapa yang dapat saya tangkap, seperti saat saudaranya tiba-tiba hadir dalam kehidupannya, yang tentu saja sangat tidak diharapkannya. Kemudian saat dia jatuh cinta terhadap seorang dokter yang menyoroti betapa cupu dan lemahnya dia dalam memahami wanita. Lalu, ketika si wanita mulai hadir ke dalam keluarganya yang menimbulkan dilema dengan anak perempuannya dan beberapa masalah di kampus yang tidak dapat saya pahami dengan baik.
Yah, film ini mungkin tidak tepat ditonton jika sekedar mengisi waktu luang. Namun akan sangat menarik bila ditonton ketika teman-teman yang mungkin sedang bosan dengan acara tv tertentu, maka saya rekomendasikan film ini ditonton apabila memang pelariannya adalah ingin menonton film.
.Hmm.

Wanita, Yang Kuliah Di Usia 16


Movie : Marie Antoinette
Cast : Kirsten Dunst, Jason Schwartzman

Director : Sofia Coppola

Review : Ada yang bilang (review dalam sebuah blog), bahwa film Marie Antoinette ini adalah lanjutan dari film Sofia Coppola sebelumnya Lost In Translataion (LIT) yang rencananya akan dikemas dalam bentuk trilogy. Saya juga sempat bingung, mengingat tema dan cerita kedua film tersebut sangat berbeda. Namun, Sofia yang berhasil meraih penghargaan (Best Writing Academy Award 2003) lewat film LIT yang memang memiliki keunikan dibandingkan dengan sutradara kebanyakan, menjelaskan bahwa yang ingin dikemasnya dalam sebuah trilogy adalah kisah yang menjadi tema dalam film, yang berkisah tentang perempuan menghadapi “dunia”. Pada LIT, si perempuan dalam film tersebut masih belum menemukan identitas dan menghadapi kesulitan menghadapi “dunia”.
Nah, lewat film Marie Antoinette, yang didasarkan pada kisah sejarah ratu Prancis yang doyan pesta, menghamburkan uang dan kemudian terkenal dengan hukum pancungnya, si perempuan dalam film ini sudah menemukan identitas dan berani untuk menghadapi “dunia”. Banyak review yang saya baca terkesan menyalahkan Sofia karena interpretasinya terhadap sejarah Marie Antoinette tidak sesuai dengan espektasi dan gambaran sejarah umum mereka terhadap Marie Antoinette. Untuk poin ini, saya sedikit berbeda. Kita semua tahu, bahwa interpretasi sejarah itu tidaklah mutlak, terlalu banyak versi, sehingga terkadang ambigu. Selalu ada kecurigaan adanya kepentingan pihak tertentu merekayasa sejarah menurut kemauan mereka. Saya melihat Sofia ingin keluar dari belenggu kekakuan dalam interpretasi sejarah yang harus dilihat dari satu sudut pandang saja. Dengan tegas, lewat filmnya ini, Sofia seperti berkata, “Ini nih Marie Anotinette versi saya”. Dan Sofia menurut saya berhasil keluar dari espektasi kebanyakan dan dengan egoisnya memfilmkan sejarah Marie Antoinette dengan gayanya sendiri.
Sofia mengambil sudut pandang sejarah Marie Antoinette secara personal, seperti mengajak kita mendengar Marie Antoinette “berbicara” kepada kita sepanjang film. Dimana dia sangat tertekan dengan bakunya suasana di dalam istana, suaminya yang sangat tidak hangat, serta pendapat orang disekeliling yang sangat mengganggu. Sofia terus membuat Marie Antoinette secara intens “berbicara” kepada penonton. Dan hal inilah yang menyebabkan film ini sangat sedikit memasukkan unsur terpenting dalam sejarah Marie Antoinette, yaitu Revolusi Prancis dan Hukum Pancung tersebut.
Sehingga maaf-maaf saja kalau film ini terkesan acak-acakan. Meski terkesan acak-acakan, Sofia tetap tidak akan dapat menyembunyikan keseriusannya, ini terlihat dari property seperti kostum dan lansekap yang sangat memesona mata itu.
Dan meski terlihat memaksakan diri, Sofia tetap saja mengabsurdkan film dengan tambahan musik modern yang memang menjadi ciri khasnya. Sebut saja The Cure, New Order, hingga Siouxie and The Banshee, dilanjutkan dengan serbuan musik elektronik semisal The Radio Dept dan Aphex Twin.
Bisa dibilang, walaupun tidak seperti LIT yang benar-benar total fuck you (mulai dari cerita hingga komposisi musik yang semaunya), Marie Antoinette bisa dibilang seperti orang Islam makan babi.
.Hmm.

Sentuh Dirimu, Raihlah Keberanian


Movie : Vicky Cristina Barcelona (Life Is The Ultimate Work Of Art)
Cast : Scarlett Johansson, Penélope Cruz, Rebecca Hall, Javier Bardem

Director: Woody Allen

Review : Kompleksitas cinta dan makna mencari dan menemukan serta dilematis antara nelangsa dan bahagia menjadi bumbu utama film ini. Woody Allen yang memang terkenal memiliki referensi budaya yang kuat, kali ini mengambil Barcelona sebagai wadah eksplorasinya. Di film ini teman-teman bisa menyaksikan bagaimana Woody menyoroti budaya- khususnya seni- kota Barcelona. Dari magisnya denting suara gitar spanyol, lekukan-lekukan arsitektur, seni lukisnya, hingga budaya free thinker orang Eropa membuat film ini tampil semakin indah. Film ini juga tampil dengan tampilan yang sedikit menyeleneh. Woody menggabungkan monolog dengan akting yang terlihat sedikit tetrikal, sehingga kemungkinan film ini membuat kita bingung sangat kecil. Mungkin Woody sengaja melakukannya karena materi film ini yang cukup rumit?
Nah, bermula dari perjalanan libur musim panas dua gadis Amerika yakni Vicky dan Cristina ke Barcelona yang memiliki latar tujuan berbeda. Hingga kemudian mereka bertemu dengan seniman Barcelona Juan Antonio dan filmpun bercerita. Seperti yang saya tulis sebelumnya, film ini menghadirkan kompleksitas cinta, makna mencari dan menemukan serta dilematis antara nelangsa dan bahagia. Satu hal yang memang selalu membuat saya tertarik dalam sebuah film, apapun filmnya adalah hal-hal yang mendukung film tersebut, atau katakanlah "figuran" utama dalam film itu. Nah, film ini menurut saya cukup berhasil menghadirkan "figuran" yang saya maksud dengan baik. "Figuran" yang saya maksud dalam film ini adalah budaya- khususnya seni- kota Barcelona, dimana saya juga ikut terhanyut saat adegan permainan gitar Spanyol, terpukau dan sangat iri melihat arsitektur kota Barcelona, merasakan kebebasan berfikir Eropa ketika melihat mereka berkelompok, berdiskusi, mengadakan pameran, dan mengenalkan saya dengan sedikit dari seni lukis mereka yang benar-benar ajaib. Hingga saya benar-benar puas dengan performa film ini. Belum lagi saat menyimak materi film yang mempertanyakan keberanian kita untuk mengahadapi konsekuensi komitmen, keberanian untuk melompat dari zona nyaman yang berhasil membuat orang sekitar kita harus merelakan keputusan kita, dan hubungan percintaan yang nyaris sempurna hingga tersadar ketika menemukan bahwa ada "sesuatu yang tidak ada" dalam hubungan mereka, yang sepertinya benar-benar tidak memiliki jawaban hingga akhir film.
Film yang cukup berbahaya untuk dinikmati oleh teman-teman yang mungkin sudah berpacaran lama.
.Hmm.

Monday, January 12, 2009

Death at a Funeral


  • Movie : Death at a Funeral
  • Cast : Matthew Macfadyen, Rupert Graves, Alan Tudyk, Daisy Donovan, Kris Marshall, Andy Nyman, Jane Asher, Keeley Hawes, Peter Vaughan, Ewen Bremner, Peter Dinklage, Thomas Wheatley, Peter Egan
  • Director: Frank Oz


Review : Yah, film ini adalah sebuah komedi. Tipikal ya? Bahkan kalo untuk urusan komedi, film Indonesia juga sudah sesak dengan komedinya. Yah, jika teman-teman sudah puas dengan tipikal komedi yang lazim tersebut, maka janganlah menyesal jika di kemudian hari mendapati bahwa komedi yang lazim itu kok sudah gak lucu lagi ya?
Begitulah, mengapa saya merekomendasikan film Death at a Funeral untuk menambah wawasan kekomedian kita.

Khususnya, film ini adalah bukan film Amerika, melainkan film Inggris yang tentu saja memiliki citarasa komedi tersendiri (bahkan cenderung disembunyikan, sehingga kita seperti tidak mengerti tapi kita tertawa).
Film ini adalah film komedi situasional, mengambil garis besar resepsi pemakaman sang ayah, satu-persatu aktor dan aktris menjalankan perannya menghadirkan tingkah dan situasi liar yang akan membuat kita bergerak untuk mencoba mengerti dan tertawa.

Kebanyakan film akan dibilang bagus jika tidak tertebak. Namun, khusus untuk film ini, sesuatu yang tidak tertebak itu bukanlah parameter yang menarik untuk mengatakan film itu bagus atau tidak. Satu hal, spontanitas wacana dan tingkah yang kerap mengagetkan menurut saya lebih asyik dijadikan parameter untuk menilai film ini.
.Hmm .

The Nightmare Before Christmas


  • Movie : The Nightmare Before Christmas
  • Cast : Dubber
  • Dirrector : Tim Burton
Review : Tim Burton, WoW? Pria tua yang memang lihai dalam pengadaan spesial efek dan film bergaya musikal ini memang tak pernah terlalu tua untuk berkarya. Selain "Charlie and the Chocolate Factory," "Corpse Bride", dan "Sweeney Todd", "The Nightmare Before Christmas" adalah karyanya yang saya lihat sangat sukses dari segi merchandise. Coba kita lihat belakangan ini, terlebih para remaja yang asyik mengenakan t-shirt, tas, gantungan kunci, bantal, yang bergambar Jack Skellington.
Atas dasar itulah saya menjadi penasaran dan tertarik merekomendasikannya kepada teman-teman.
Pada dasarnya saya kurang suka dengan gaya film musikal, yang berdialog dengan saling bernyanyi (seperti sesi khusus dalam sinema-sinema India), dan properti-properti merepotkan seperti kostum, make-up dan lain sebagainya. Dan, kekecewaan terbesar timbul ketika saya menonton Sweeney Todd, walaupun dibintangi oleh aktor sekaliber Johny Depp.

Namun, anehnya film The Nightmare Before Christmas ini tidak menimbulkan kekecewaan yang saya rasakan saat menonton Sweeney Todd. Walaupun gayanya sama, tapi karena disajikan dalam bentuk animasi, maka konsep fantasi-musikal itu dapat saya terima, sehingga film ini mengalir begitu ringan dan tepat dalam pemberian sensasi yang ditawarkan.

Cerita yang karakternya didesain sendiri oleh si pria tua Tim Burton itu, juga dikemas dengan komposisi musikal peraih nominasi Oscar Danny Elfman yang juga terlibat dalam proyek yang sama dengan Tim Burton pada "Corpse Bride" dan "Big Fish".

Menarik, sungguh, dan akan lebih menarik jika teman-teman menonton filmnya sendiri, menikmati alur dan ceritanya, daripada harus saya yang bercerita. Sebuah anomali yang sopan menurut saya.
.Hmm .